Berita Terkini

Hasil Survei Bisa Salah

Jakarta, kpu.go.id- Bertempat di Media Center Komisi Pemilihan Umum, Jln. Imam Bonjol Jakarta, Majalah Indonesia membeberkan lembaga survei bermasalah, yang dikemas dalam diskusi publik bertema “Wajah Survei Politik Indonesia”. Hadir sebagai narasumber, Adrinof Chaniago (Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi), Umar S. Bakry (Sekretaris Jenderal Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi), dan Ade Armando (Majalah Indonesia 2014).

Kebutuhan akan survei kian deras saat republik ini menerapkan sistem pemilihan langsung, sejak Pemilihan Umum Kepala Daerah digelar secara bergiliran. Ada ratusan lembaga survei yang tersebar bukan hanya di Jakarta dan diberbagai daerah. Bahkan sebagian lembaga survei merangkap jadi konsultan politik untuk memenuhi kebutuhan.

“Kecendrungan untuk mengakali survei bisa terjadi karena perubahan karakter lembaga penelitian. Lembaga yang semula hanya memusatkan perhatian pada penelitian/survei dan menyajikan data objektif kini bergerak menjadi konsultan politik. Dalam kondisi ini, ada saja konsultan yang menggerakan segala upaya memenangkan klien, kalau perlu dengan merekayasa hasil survei,” tambah Ade.

Ade melanjutkan, kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa kebutuhan akan survei ini juga melahirkan lembaga-lembaga peneliti tanpa kualifikasi memadai. Para pengelolanya bisa jadi tak bermaksud jahat atau buruk, mereka hanya melihat ada kebutuhan pasar yang mereka respon dengan mendirikan lembaga yang melayani jasa survei.

Bisa dibayangkan, tanpa metode penelitian yang benar. Runyamnya lagi, media massa pun cendrung tak bersikap kritis, acara konferensi pers terkait rilis hasil survei, mereka tak dilengkapi dengan pengetahuan memadai untuk bisa mempertanyakan hasil yang lemah secara metodologis. Akibatnya hasil sebuah penelitian yang mengandung cacat logika secara mendasar bisa terpampang sebagai headline di berbagai media massa.

“Dua asosiasi pegiat survei di Indonesia, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (Aropi), belum terlalu tegas menegakkan kode etik dan sanksi bagi para anggotanya yang melanggar kode etik penelitian. Kedua pegiat survei ini belum maksimal memberikan pendidikan bagi masyarakat bagaimana mendeteksi dini survei kredibel dan abal-abal,” jelas Ade.

Ade menutup, bahwa sebagai kegiatan akademik, survei bisa salah tapi tak boleh bohong, apalagi direkayasa. Survei itu bisnis kepercayaan, kepercayaan itu mahal. Tak bisa dibeli. (dh/red. FOTO KPU/dh/hupmas)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 7,095 kali